Hidup ini sia-sia, atau, senda gurau belaka, jangan menangis, jangan kaget, ketika kita kehilangan sesuatu yang kita cintai, karena kehilangan itu nyata adanya.
Hari ini seperti biasanya, tak ada salju, tak ada hujan es, kontrakan itu dekat dengan kampus, sekitar lima puluh meter dari kontrakan, kurencanakan berjalan menuju kontrakan supaya tiba pada sore hari. Sehingga bisa beristirahat pada pukul tujuh malam agar besok. Tidak masuk kuliah dua hari karena besok hari sabtu minggu, tidak ada jadwal kuliah pada hari itu. Bangun tidur tidak ada kegiatan, menuju kamar mandi, buang air kecil, berkat semalaman ku tahan, mencuci gelas berisikan ampas kopi yang mulai berjamur, lalu memesan kopi di depan kontrakan.
“Bu, pesan kopi!”. Ia tidak menjawab.
Lalu berpikir bahwa seharusnya aku tidak mengatakan itu kepadanya, kepala bergeleng-geleng kuping tertancap pengeras suara dan tangan memegang telepon genggam. Gumamku dalam hati “kenapa ini”. Gelas terlepas dari genggaman lalu berdengar suara “prakk”, ibu itu langsung menyaut “ada apa dek?”.
Kopi susu panas sudah tersedia dengan gelas baru ibu warung, tidak perlu meminta maaf. Lebih pantas, dia yang menyampaikan kata terima kasih. Cuaca pagi masih dingin, letak geografis daerah dikelilingi oleh gunung dan sangat jauh dari pantai atau lautan, sehingga aku memutuskan untuk berdiam diri di dalam kontrakan tanpa mempedulikan anak kecil yang sedang menangis merengek-rengek minta dibelikan mainan, mungkin dagangan ayahnya sedang tidak laku hari ini. Pokoknya, aku tidak peduli.
Jam dinding menunjukan pukul sebelas siang, udara mulai terasa hangat, matahari sudah muncul dengan sempurna, perut mulai terasa bergetar, kepala agak pening, rupanya rasa lapar mulai menjalar disekujur tubuh, bangun dari kasur yang mulai menipis, menyusuri kantong-kantong celana dan baju. Sial, tak tersisa uang sedikitpun, bodoh, mengapa tadi membeli secangkir kopi.
Mengunci pintu dari luar, berjalan kaki menuju kandang babi, mungkin disana ada sesuatu yang bisa mengganjal perut, jalanan gang begitu sempit sampai-sampai harus berhenti sejenak, menunggu kendaraan roda dua berjalan berlawanan arah. “tok tok”, jari-jemari mencoba mengeluarkan isarat adakah manusia di dalamnya, pintu ternyata tidak dikunci, lalu, muncul sesosok orang bertubuh gembul dia menghampiri, “Hai, udah makan belum?”, dia bertanya kepadaku, dengan wajah terheran-heran, aku menjawab “belum”.
Rupanya dia adalah mona, bukan seorang wanita tetapi seorang lelaki berbadan gembul, lalu dia bertanya serasa bergumam, “aduhh lapar nih, belum makan dari kemarin”, aku berpikir keras tanpa wajah yang mencurigakan, agar dia tidak tersinggung hatinya, seperti ada perlawanan yang sengit dalam kepala, perang ideologi antara blok barat dengan blok timur, pertarungan yang tiada akhir meski perang dunia kedua telah usai, yang menyisakan penderitakan kepada bangsa-bangsa terjajah. Stop berperasangka, namun melihat bentuk badannya, dan bergumam seakan memelas untuk mengisi perutnya yang kosong, rasa empati menghilang.
Bercengkrama dengan manusia-manusia lainnya di kandang babi, sambil memainkan tembakau lokal pada kertas manis, membuat jari-jemari sedikit tergerakan oleh gerakan yang maju mundur.
Dialog antara penghuni kandang babi semakin lama menjenuhkan, salah satu penghuni kandang babi lapig bercerita, “babi hutan, anjing laut, beruang kutub, kepalaku masih sakit akibat terkena pentungan satpam kampus”, mungkin karena lapig dalam keadaan perut belum terisi jiwa pemberontak yang membakar lambunya penyebabnya, nade menyaut perkataan lapig dengan nada sedikit menghinakan, “sudah ku bilang sebelum berdemo ada baiknya mengisi perut terlebih dahulu”, dengan nada curiga lapig menyangkal pendapat nade, ia berkata,
“bukankah kau seharian selalu bersama ku?”, mimik tanpa dosa nade sambil tertawa jahat, ia berkata, “waktu kita berdemo tentang masalah kebijakan kampus yang tidak berpihak terhadap mahasiswa”, nade berhenti sejenak, lalu ia menghisap rokok lintingan yang abunya sudah menjalar bagai obat nyamuk, sambungnya, “aku menengok ke belakang dan melihat warteg pinggir jalan”. Lapig menertawakan dirinya sendiri, ia berkata, “lalu, siapa yang membayar makan di warteg?”, dengan muka sedikit bingung nade berkata, “aku bilang nanti dibayar oleh panitia yang diluar sana”, lapig dengan keadaan yang lapar terpaksa harus tertawa dengan menahan perutnya yang sakit.
Setelah semua penghuni kandang babi berhenti dari gelak tawa, mona dengan wajah masih memelas dan mengelus-ngelus perutnya gembul, berkata, “mari kita cari warteg!” perintahnya kepada para penghuni kandang babi, dengan muka penasaran nade berkata, “siapa yang mau bayar? Bukankah kita tidak mempunyai uang”, mona tersenyum seakan ia diadopsi oleh raja jawa, ia berkata, “sejak tadi pagi aku liat ada kampanye calon walikota”, wajah para penghuni kandang babi tersenyum tanpa mengeluarkan kata-kata, dengan semangat melawan kolonialisme mereka bergegas menuju warteg.
Malam ini mona berbaring diatas kasur busa tipis yang semula berwarna cerah kini berubah menjadi warna abu-abu selain menumpuknya air liur, kasur ini menjadi pengering kaki setelah keluar dari kamar mandi, mona tidak bisa tidur, entah apa yang ada dipikiranya, mencoba memejamkan mata, sial, mengapa harus memaksakan mata ini terpejam sedangkan yang terlihat hanya kegelapan, untuk apa memejamkan mata, kalau tak bisa tidur?,
kegelapan menghampiri tak ada lagi suara manusia yang terjengar hanya tetesan air yang tergenang diatas lantai, malam itu setelah hujan lebat, berusaha membayangkan hal-hal yang indah, menghampiri seorang wanita terlihat dari kejauhan nampak cantik jelita dengan bibir merah merona, mata berbinar, ia duduk sendiri sambil membaca novel di halaman kampus, menghampirinya lalu ia tersenyum malu ketika ku tatap tepat di kedua matanya, lalu ia berkata dengan ramahnya,
“hai mona”, pada awalnya aku berjalan dengan tegap dan gagap ketika ia mulai berbicara seluruh badan ini membeku, tangan ini menjadi kaku, apa peduliku pada reaksi tubuh ini, lalu membalas senyumnya dan duduk disamping wanita tersebut, indah terasa mendengarkan sang wanita anggun bercerita tentang novel yang sedang ia baca, menatap gerak bibirnya dan sekali-kali menatap kedua matanya, dunia seakan melambat seketika.
Air menetes dari atas atap, rupanya hujan turun lagi, wanita dalam hayalan mona lenyap, tetesan air hujan bukan hanya membasahi muka mona tetapi kasur tipis itu, menjadi lembab, gumam mona tengah malam, “dasar hujan datang tak dirindukan”, mona berjalan menyusuri dapur, mencari sesuatu yang bisa dimakan, rupanya cuaca mempengaruhi selera untuk selalu makan, tak menemukan sesuatu, merenungla ia sambil tetap mengelus perutnya, sisa makan tadi siang rupanya tak bertahan lama, mencari tempat yang nyaman untuk kembali tidur, tak ada ruang tersisa untuk mona terlelap dengan tenang, keluar dari kandang babi, udara dingin menusuk sampai ke permukaan kulit tebal ini, jalanan sepi, berharap masih ada warung makan yang buka dan bisa ia menorehkan nama pada buku catatan bon, atau, menitipkan ktp dan ktm sebagai jaminan, hujan mulai reda menyisahkan gerimis.
(Bersambung....)